Papanya Aurel Tjeme...

Papanya Aurel Tjeme...

Rabu, 28 Desember 2011

Eksekutif dan Legislatif ; Mitra atau Lawan ?

Banyak perdebatan tentang pemaknaan terhadap besar kecilnya peran tentang hak dan wewenang DPRD terhadap eksistensi kewenangan Kepala Daerah telah memberikan wacana yang berpengaruh terhadap hubungan kemitraan antara Badan Legislatif dan Badan Eksekutif daerah. Pengaruh hubungan itu dapat bersifat asosiatif dan dissosiatif. Hubungan yang asosiatif menimbulkan sistem kerja yang kompromistis akibat koreksi-koreksi dan kepentingan yang diharapkan saling terakomodasi. Bila kepentingan-kepentingan antara kedua belah pihak tidak terakomodir dengan baik maka timbul hubungan yang bersifat dissosiatif dan terjadi konflik politik yang dampaknya dapat menimbulkan instabilitas kelembagaan daerah tersebut. Masa lalu ada asumsi keberadaan DPRD sebatas bagian dari Pemerintah Daerah dan sifatnya hanya penunjang terhadap eksistensi Kepala Daerah.
Harmonisasi hubungan antara Eksekutif dan Legislatif dalam konteks tata laksana penyelenggaraan pemerintah di daerah sedikit banyak ikut menentukan tercapainya situasi yang kondusif bagi keberhasilan program-program pembangunan di daerah, karena itu pola hubungan yang seimbang dan egaliter antara kedua lembaga tersebut perlu terus menerus ditingkatkan sebagai upaya menjaga stabilitas politik di daerah. Namun demikian dalam beberapa kasus kerap terjadi disharmonisasi hubungan  antara eksekutif dan legislatif, baik dalam konteks kesalahpahaman dalam menterjemahkan makna dan substansi UU maupun yang lebih bersifat an sich. Seperti yang terjadi di Sumba Timur, Manggarai Timur dan Lembata soal tambang, DPRD NTT dan Pemprov NTT soal Ranperda Pengelolaan Mineral dan Batubara serta di Nagekeo. Saya mengambil contoh yang ‘sedikit memanas’ antar DPRD Nagekeo dan Pemkab Nagekeo. Berawal dari hasil temuan BPK terhadap pengelolaan keuangan SKPD-SKPD dalam lingkup Pemkab Nagekeo yang dinyatakan disclaimer dimana banyak laporan maupun pertanggungjawaban keuangan yang janggal atau tidak jelas dan terindikasi merugikan keuangan negara.
DPRD Nagekeo segera membentuk Pansus untuk menindaklanjuti LHP BPK tersebut. Namun fluktuasi hubungan antar kedua lembaga tersebut lambat laun mengarah pada terjadinya konflik politik terbuka buntut rekomendasi Pansus memberikan waktu 2 minggu agar Pemkab Nagekeo menyelesaikan ‘ketidakberesan tersebut’. Tak ayal Bupati Nagekeo, Drs. Yohanis Samping Aoh, berang sambil beralasan BPK yang sangat mahfum betul dengan bidang akuntansi memberikan waktu 3 bulan, belum lagi Shafar, SE anggota DPRD merasa tersinggung dengan pernyataan bernada remehan Nani Aoh tersebut dan siap melakukan debat terbuka soal pembukuan/akuntansi.
Ironis memang apakah Pemkab Nagekeo yang belum sepenuhnya memahami atau DPRD yang mengarah pada perilaku politicking? Jangan heran kalau beberapa saat lalu Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono marah atas ketidakberhasilan (belum berhasilnya tepatnya) daerah-daerah otonom baru (termasuk Nagekeo mungkin, mungkin ya?) dalam mengurusi pemerintahan dan pembangunan, bahkan menyatakan menunda pemekaran calon-calon daerah otonom baru (kasihan Calon Kotamadya Maumere, Kabupaten Malaka dan Kabupaten Adonara) karena tujuan otonomi daerah yang seharusnya lebih mendekatkan pengambilan keputusan dan fungsi pelayanan kepada masyarakat tidak tercapai maksimal serta mungkin salah satu penyebabnya adalah tidak harmonisnya lagi hubungan antara DPRD dan Pemda tersebut.
Dalam pengelolaan keuangan apabila dalam proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan oleh BPK ternyata ada ketidakjelasan informasi mengenai tanggungjawab pengelolaan keuangan negara maka BPK akan memberikan opini berupa pernyataan sebagai kesimpulan pemeriksa bahwa ada ketidakwajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan terhadap data, catatan atau keterangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara baik tertulis, tidak tertulis atau dalam bentuk apapun sehingga BPK akan memberikan rekomendasi berupa saran untuk melakukan tindakan perbaikan. Tetapi apabila dalam pemeriksaan (keuangan dan kinerja) ditemukan unsur pidana maka BPK akan melaporkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan. Pemerintah wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK serta melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan. Jadi laporan keuangan yang akan disampaikan ke DPRD telah ada koreksi.
Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara maka semua laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan ke DPRD maksimal 2 bulan setelah menerima laporan dari pemerintah daerah. DPRD dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan dapat meminta penjelasan ataupun meminta BPK melakukan pemeriksaan lanjutan.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 1 Tahun 2001 dan No. 108 Tahun 2000 dijelaskan DPRD memang mempunyai hak untuk meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah tentang suatu kebijakan dan DPRD dapat membentuk Panitia Khusus dalam menyelidiki (penyelidikan atas persetujuan Presiden RI atau Menteri Dalam Negeri RI) kebenaran keterangan serta dapat mengambil keputusan menerima/menolak keterangan pemerintah dan menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak yang berwenang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku namun yang perlu juga diperhatikan bahwa hanya BPK yang menerbitkan Surat Keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban kepada Bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi jika ada indikasi kekurangan kas/barang yang merugikan negara/daerah.
Jika ada semacam kegenitan politik para anggota DPRD maka sebaiknya jajaran DPRD lebih mawas diri dan melihat jauh ke depan terhadap substansi persoalan bukan malah mempolitisir sehingga permasalahan yang begitu prinsipil hanya dijadikan komoditi politik belaka. Saya melihat trend kecenderungan menjadikan permasalahan sebagai komiditi politik karena adanya motif popularitas atau motif ekonomi dan sepertinya ini bukan rahasia lagi bagi masyarakat umum. Jika kecenderungan ini menguat tentunya akan semakin mengurangi wibawa politik lembaga DPRD di mata masyarakat.
Di daerah, birokrasi lazimnya cenderung lebih kuat daripada lembaga-lembaga lain sehingga seringkali lepas dari kontrol masyarakat. Ini bisa terjadi karena birokrasi memiliki sumber-sumber kekuasaan penting, terutama penguasaan informasi dan kepemilikan keahlian teknis untuk mengelola pemerintahan. Informasi adalah sumber kekuasaan yang efektif dan keahlian teknis juga jelas merupakan aset penting yang membuat birokrat sangat berpengaruh. Lalu kembali ke atas, mengapa sampai laporan keuangan dinyatakan disclaimer? Itu karena birokrat bisa mengeluarkan atau menyembunyikan informasi melalui keahlian teknis untuk keperluan mempengaruhi opini publik demi kepentingan sendiri. Dengan semakin kompleksnya teknologi serta tingginya ketergantungan masyarakat membuat birokrat nyaris memonopoli semua keahlian di bidang-bidang tertentu, sementara politisi jarang memiliki keahlian seperti itu (kenyataannya birokrat umumnya berpendidikan lebih tinggi dari rakyat kebanyakan maupun wakilnya di DPRD). Belum lagi kelemahan partai politik dan berbagai LSM telah menciptakan keadaan dimana aparat pemerintah betul-betul tidak bisa dikendalikan oleh masyarakat. Tidak ada lembaga ekstra-birokrasi yang bisa memaksa birokrasi untuk setia pada prinsip “Abdi Masyarakat”. Lebih dari itu posisi birokrasi di daerah sangat sentral karena bukan hanya bertanggungjawab dalam perencanaan pembangunan tetapi juga dalam mencari dana investasi, menetapkan arah investasi bahkan birokrat sendiri menjadi investor dengan mendirikan Perusahaan Daerah. Ketika hasil produksi tidak menemukan pasar maka pemerintah sendiri sering menjadi konsumen terbesar. Dalam kaitan ini pemerintah juga merupakan sumber pekerjaan bagi banyak perusahaan yang menggantungkan pada kontrak pemerintah; selain juga sebagai pemberi kerja bagi mereka yang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam mendorong terjadinya KKN di kalangan birokrasi.
Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif pada hakikatnya bukan merupakan pemisahan kekuasaan secara mutlak sebagaimana ajaran Trias Politica melainkan pembagian kekuasaan yang menuntut hubungan timbal balik antar sesama penyelenggara negara dalam suatu sistem pemerintahan sesuai tupoksinya masing-masing. DPRD (Badan Legislatif) dan Pemerintah Daerah (Eksekutif Daerah) sebagai penyelenggara pemerintah daerah bersama-sama berperan dalam menetapkan kebijakan politik dan pemerintahan di daerah, dengan demikian keduanya bisa dikatakan mitra dalam membangun sistem pemerintahan yang baik, akuntabel, tranparansi dan sesuai dengan tujuan reformasi pemerintah dan birokrasi. Bukankah upaya mewujudkan terlaksananya prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) pada penyelenggaraan tugas pemerintah daerah merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi? Sekiranya dalam upaya tersebut pengelolaan keuangan negara haruslah tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dalam memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Jadi memang dibenarkan DPRD mempunyai fungsi pengawasan karena mereka mempunyai tanggungjawab moral ketika menetapkan APBD apakah sesuai dan pas dengan aspirasi dan keinginan masyarakat banyak namun di samping itu DPRD juga harusnya menyadari bahwa fungsi pengawasan yang dimaksud tidak serta merta menjadikan pemerintah sebagai bola yang bisa ditendang sana sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan para sahabat mengomentari dan terimakasih