Papanya Aurel Tjeme...

Papanya Aurel Tjeme...

Rabu, 28 Desember 2011

Bangkitkan Profesionalisme Anggota PGRI

Alam konstelasi politik kadang sulit diprediksi arah dan kehadirannya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang rumit dan pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini.
Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seseorang yang menyatakan sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi dibalik kekuatan organisasi untuk menjamin eksistensinya.
Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual (Competition on individual base).
Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya dengan piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman, suatu kenyataan telah berada dipelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya, WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia. Menghadapi kenyataan ini maka sebuah organisasi, harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatkan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat.
Meminjam buah fikir "Francis Bacon" sebagai peletak dasar-dasar empirisme menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandanngan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan ada empat idola, yaitu:
1. The idols of cave, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
2. The idols of market place, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan cenderung suka "ngecap" (lip service).
3. The idols of theatre yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan "ABIS"- Asal Bapak Ibu Senang".
4. The idols of tribe, yaitu cara berfikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikirnanya sendiri (solipsistic) dan hanya membenarkan kelompoknya/organisasinya sendiri.
Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesionalisme guru, maka wadah organisasi seperti PGRI (Persatuan Guru RI) tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisisasi PGRI dihadapkan pada "barier protection) sebagi akibat globalisasi. Sadar dari realita ini PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual (peningkatan kompetensi). Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa (pressure group), tidak selamanya benar.
Mengukuhkan Keahlian
Di era ketidakpastian, tuntutan keahlian digambarkan sebagai kemampuan personal yang memiliki daya ganda, yakni disamping memiliki keungulan kompetitif (competitif advantage), sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif (comparative adventage). Keunggulan kompetitif ini menuntut professional untuk menguasai kempetensi inti (core competence). Dalam dunia pendidikan yang disyaratakan sebagai kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi:
1. Keunggulan dalam penguasaan materi ajaran (subject mater)
2. Keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran (teaching methode)
Dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliput; kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial. Dari syarat kompetensi ini, merupakan bentuk tuntutan yang sifatnya dinamik, karena penguasaan materi ajaran, serta penguasaan metodologi pengajarann selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Dalam penguasaan materi ajaran misalnya, untuk satu hari saja dunia telah mencatat lebih dari kurang satu juta judul buku terbit.
Sisi lain yang juga menjadi tantangan adalah rekayasa bidang teknologi komputer dengan rekayasa tersebut maka tercipta beberapa perangkat lunak (soft ware) pendidikan yang memiliki kemampuan luar biasa dan sangat reasonable terhadap berbagai keadaan dan fungsi. Realitas ini merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh organisasi.
Menguatkan Tanggung Jawab
Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena disamping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan (transfer of knowledge) secara bersamaan guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah steril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif.
Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa berdosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naïf, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola (indovision) telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya.
Keadaan ini menjadi serba-serbi dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang dibagi untuk mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral. Sebagai tantangan tanggung jawab profesi yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukan kepada kita, sering pula dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni pekerjaan-pekerjaan lain yang akhirnya merugikan nilai-nilai profesional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisikan guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya. Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukan siasat.
Jejaring Sebagai Kekuatan Organisasi PGRI:
Dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, "mencerdaskan bangsa" PGRI selalu mengundang dan bekerja sama dengan organisasi lainnya, selama dalam bingkai tegaknya NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi menjadi suratan perjuangannya.
PGRI selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI menyadari sepenuhnya membangun jejaring (net working) dalam kerangka peningkatan martabat Bangsa Indonesia khususnya wilayah Kabupaten Nagekeo selalu dikedepankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan para sahabat mengomentari dan terimakasih