Papanya Aurel Tjeme...

Papanya Aurel Tjeme...

Rabu, 28 Desember 2011

Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan UKM

Dalam satu dasawarsa terakhir dua sisi penting yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah, masalah pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Pemerintah melalui kebijakan deregulasi dan debirokrasi berusaha menciptakan iklim usaha yang lebih baik terutama di sektor industri dengan tidak meninggalkan sektor lainnya. Diharapkan pertumbuhan sektor industri mampu memberikan peluang kerja bagi angkatan baru. Sejalan dengan itu, program industri dengan titik berat pada pemerataan pembangunan (industri kecil dan industri rumah tangga) mendapat prioritas yang lebih besar mengingat industri besar dan sedang belum mampu memberikan hasil yang diharapkan. Sementara itu kekuatan ekonomi Indonesia ke depan akan bertumpu pada tiga pilar, yakni kerakyatan, ekonomi daerah dan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Perhatian dan pembinaan UKM memang perlu mengingat industri ini sudah melekat dalam masyarakat Indonesia. UKM dikembangkan dan berkembang semata-mata bukan karena alasan idealis dan egalitarian melainkan karena alasan-alasan rasional, mempunyai peran yang strategis, baik yang sifatnya sosial maupun ekonomis. Secara sosial politik, UKM berperan dalam penyerapan tenaga kerja serta upaya pengentasan kemiskinan, sementara fungsi ekonominya bahwa UKM menyediakan barang dan jasa bagi konsumen berdaya beli rendah sampai yang berdaya beli tinggi, yang akhirnya memberikan kontribusi besar dalam perolehan devisa negara. Industri kecil memperkuat kedudukan pengusaha nasional yang sudah bergerak di lapangan ini dan merupakan modal bagi pembangunan yang mendasarkan diri pada sumber bahan pertanian dan bahan lokal lainnya, yang hasilnya dapat dijual dalam pasaran dalam dan luar negeri.
Industri kecil sebagai salah satu jenis bidang usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dan untuk berkembang lebih lanjut tidak selalu berjalan dengan mulus, artinya ada hambatan. Hambatan itu berupa kekurangan modal, rendahnya semangat/kesadaran berusaha, kesulitan pemasaran, kesulitan pengadaan bahan baku, kurangnya keahlian/pengalaman, lokasi usaha yang salah, dan lain sebagainya.
Sampai dengan awal tahun 2007 di Indonesia terdapat hampir 300.000 industri yang berbasis UKM dengan kontribusinya pada GDP Indonesia sekitar 60 % dengan rincian 42 % merupakan kontribusi UK dan Mikro dan 18 % merupakan kontribusi usaha menengah lainnya (seperti Koperasi). UKM tersebut meningkat pesat seiring dengan permasalahan-permasalahannya yang kompleks. Masalah utama UKM dapat berupa kesulitan permodalan, kurang mampu mengembangkan usahanya, kesulitan dalam informasi dan pemasaran (domestik dan ekspor), keterbatasan dalam teknik produksi dan manajemen serta keterbatasan skill tenaga kerja. Sementara itu UKM dihadapi pada tantangan-tantangan seperti peluang pasar yang semakin terbuka, masuknya teknologi produksi baru, efisiensi dan produktivitas, munculnya pemain bisnis baru serta persaingan yang semakin ketat. Dengan demikian pembinaan dan pemberdayaan UKM bukan saja mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah tetapi juga dari sektor lain, seperti swasta dan Perguruan Tinggi.
Keberadaan Perguruan Tinggi (PT) mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Proses perubahan sosial (social change) di masyarakat yang begitu cepat menuntut agar kedudukan dan fungsi PT itu benar-benar terwujud dalam peran yang nyata. Pada umumnya peran PT tertuang dalam pelaksanaan Tri Dharma PT, yaitu dharma pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Dengan dharma pendidikan, PT diharapkan melakukan peran pencerdasan masyarakat dan transmisi budaya, dengan dharma penelitian PT diharapkan melakukan temuan-temuan baru ilmu pengetahuan dan inovasi, dan dengan dharma pengabdian pada masyarakat PT diharapkan melakukan pelayanan masyarakat untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat. Melalui dharma pengabdian pada masyarakat ini pula PT akan mendapatkan feedback dari masyarakat tentang tingkat kemajuan dan relevansi ilmu yang dikembangkan oleh PT tersebut.
Dalam hubungan pendayagunaan (atau istilah lain link and match) antara PT dan UKM dimana terdapat suatu jalinan yang saling mengisi, akan meningkatkan peran PT sebagai sumber pembelajaran, dan UKM sebagai partner pengembangan dan inovasi sains dan teknologi. Dewasa ini PT dituntut untuk lebih berperan dalam penerapan ilmu bagi UKM baik UKM yang masih sederhana maupun yang sudah mandiri. Peran tersebut meningkat dengan ditandainya geliat berbagai PT untuk menjadi research university dan UKM sebagai sumber lahan yang luas guna penerapan sains dan teknologi hasil pengolahan dari alam. Dengan memahami peran masing-masing tentunya akan terjadi suatu sinergi yang saling mendukung antara PT dan UKM.
Mengingat UKM memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan negara maka beberapa tahun terakhir beberapa PT menaruh minta yang serius bagi pengembangan UKM. Satu contoh ketika saya masih menjadi mahasiswa pada Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Fakultas Ekonomi USD mempunyai konteks lain sebagai usaha pengembangan UKM tersebut antara lain pembelajaran secara teori melalui mata kuliah Kewirausahaan dan Small Business Management (saya rasa hampir semua Fakultas Ekonomi di berbagai PT di Indonesia mempunyai mata kuliah ini) dan aplikasinya ada pada program Kuliah Kerja Profesi (KKP). KKP merupakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) alternatif khusus untuk pengembangan studi mahasiswa ekonomi. KKP bertujuan untuk memberikan pengalaman nyata kepada mahasiswa pesertanya agar mengetahui dan memahami seluk beluk dunia usaha serta membantu pengusaha kecil dan menengah untuk mengelola dan mengembangkan usahanya.
UKM yang mandiri sekalipun masih perlu pembenahan manajemen agar lebih terarah dan profesional. Sebagai ilustrasi, industri kecil mandiri yang pasarnya sudah maksimum akan diberikan pembinaan dengan tujuan untuk bertahan, atau membuat diferensiasi produk. Industri kecil yang ingin masuk segmen pasar menengah ke atas, diberikan pembinaan yang berkaitan dengan tujuan peningkatan mutu produk dan pelayanan. Pengusaha kecil yang memiliki tingkat pendidikan yang terbatas akan diberikan pelatihan yang berkenaan dengan aspek manajerial, dan seterusnya. Oleh karena itu, program-program yang telah direncanakan dalam KKP seperti memperbaiki administrasi dan pembukuan, pembinaan SDM karyawan, pengusahaan legalitas usaha, perbaikan fisik sarana dan prasarana perusahaan (seperti pengaturan kembali showroom), maka ke depannya secara infrastrukutur UKM tersebut sudah bisa bersaing dengan bidang usaha yang lainnya.
Peran PT bukan pada pemberian modal tetapi lebih pada membina kemampuan industri kecil dan membuat suatu kondisi yang mendorong kemampuan industri kecil dalam mengakses modal. Atau dengan kata lain PT membina kemampuan industri kecil dalam menghitung modal optimum yang diperlukan, kemampuan menyusun suatu proposal pendanaan ke lembaga-lembaga pemberi modal serta mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang lebih memihak industri kecil dalam pemberian kredit.
Perguruan Tinggi sebagai agent of development mempunyai kewajiban dalam pemberdayaan UKM. Secara umum pemberdayaan dan pengembangan UKM oleh PT dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : 1) pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, tekonologi praktis dan seni secara tepat menjadi produk yang perlu diketahui dan secara langsung dapat dimanfaatkan sesuai dengan situasi dan tuntutan pembangunan masyarakat, 2) pemberian bantuan keahlian dalam mengidentifikasi masalah serta mencari alternatif pemecahannya dengan metode-metode ilmiah, 3) pembinaan UKM dilakukan secara langsung melalui pelatihan kewirausahaan, pendampingan, promosi, pengembangan pasar, fasilitas penguatan modal dan lain sebagainya, serta 4) action research seperti secara bersama mengembangkan suatu bentuk pelatihan yang sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan dan masyarakat. Dengan langkah-langkah tersebut diyakini bahwa pemberdayaan maupun pengembangan UKM dapat berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama. Ini semua perlu didukung oleh pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta dan tentunya Perguruan Tinggi.

Alasan PNS Melakukan Korupsi??



1.       dalam realitas hidup, para pejabat banyak sekali yang tidak merasa mempunyai Negara ini (sense of Indonesian), sehingga mereka hanya berfikiran menjadi PNS untuk korup, sekarang bagaimana mungkin ujian saringan menjadi PNS saja sudah harus menyuap ??????

2.       Menurut Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, para pegawai negeri sipil ini diindikasikan melakukan korupsi disebabkan besarnya gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.

3.       karena selain kompensasinya memang rendah, juga penegakan hukumnya tidak tegas, selalu saja ada toleransi dan kompromi. Selain itu negara juga mempunyai fungsi untuk menampung tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di luar, hal ini menjadi bumerang bagi negara.

4.       PNS korupsi untuk membeli rumah, kenapa beli rumah harus korupsi. Karena untuk membeli sebuah rumah yang layak bagi seorang PNS dengan gaji yang ada adalah hal yang hampir tidak mungkin. Rumah dan tanah yang ada saat ini sudah sangat mahal bagi gaji seorang PNS, kenapa menjadi mahal karena tanah di Indonesia ini sudah habis di beli dan di koleksi oleh para koruptor tamak yang dengan dalih investasi dan niat untuk mencuci uang haram sehingga sesuai hukum ekonomi maka sisa tanah yang sedikit ini menjadi mahal karena di perebutkan oleh orang banyak. Hukum ekonomi berlaku jika sedikit barang banyak permintaan sama dengan harga naik.

5.       PNS Korupsi untuk biaya pendidikan. Negeri Indonesia ini negeri penuh ironi. Anak pegawai negeri yang jujur, penghasilan hanya dari gaji saja tidak akan bisa untuk mensekolahkan anaknya di sekolah negeri. Apalagi untuk menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri. Untuk uang masuk plus uang gedung saja jauh berlipat lipat dari gaji seorang PNS.

6.        PNS Korupsi karena terlilit utang, bayangkan jika seorang PNS untuk membeli kebutuhan Primernya yaitu sandang, pangan dan papan harus berhutang maka lingkarang setan sudah terbuka. Dimana gaji seorang PNS sudah habis untuk mencicil hutang setiap bulan selama bertahun-tahun otomasti PNS akan berusaha bertahan hidup dengan mencari penghasilan tambahan. Dimana dalam lingkungan instansi pemerintahan cara menambah penghasilan yang mudah adalah dengan cara korupsi.

7.        PNS Korupsi untuk mengembalikan modal, bagi sebagian PNS yang masuk menjadi PNS dengan cara membayar maka jelas untuk mengembalikan uang masuknya dengan cara korupsi.

8.        PNS korupsi karena gila jabatan dan pujian dari pimpinan. Dalam instansi pemerintah senioritas dan kepempinan masih meniru jaman penjajahan dimana seorang pimpinan di hormati seperti raja yang semua perintahnya adalah mewakili kehendak tuhan. Harus di turuti dan di jalankan tidak peduli perintah itu justru melanggar hukum Negara bahkan hukum tuhan. Prinsip yang di anut adalah ASAL BAPAK SENANG (Negara bangkrut gak papa)

9.        PNS korupsi karena tidak tahu kalo korupsi itu berdosa. Pemahaman agama di kalangan birokrat sangat aneh. Dalam prinsip demi kesehjahtraan bersama tindakan penyelewengan anggaran di anggap sesuatu yang biasa, sesuatu yang biasa dinggak tidak berdosa, apalagi kalo hasilnya dibagi bersama-sama. Sangat jelas diaturan bahwa PNS tidak mendapat THR tapi hamper semua instansi tiap hari raya bagi-bagi THR.

10.   PNS di daerah korupsi untuk memberi uang saku buat pejabat pusat berkunjung. Negara ini sebenarnya secara mental tidak benar-benar merdeka dari penjajahan. Di instansi pemerintah dan BUMN di daerah jika di datangi oleh pejabat pusat maka yang terjadi adalah sambutan, acara jamuan, antar sana sini, oleh oleh, tiket pulang dan tidak lupa uang saku. Kalau kedatangan pejabat pusat atas undangan instansi daerah uba rampe masih nambah lebih banyak lagi. Hal ini hampir sama dengan jaman belanda dimana bangsa penjajah merasa berkuasa atas bawahannya di daerah sehingga menuntut fasilitas, sedangkan instansi daerah hampir sama seperti bangsa terjajah yang merasa harus mencari muka pada pejabat pusat.

Korupsi oleh PNS/Politisi Muda dan Harapan Kepemimpinan Masa Depan Nagekeo

Berlanjut dengan polemik soal PNS muda yang sekarang lagi heboh-hebohnya memiliki rekening gendut?? apa yang diharapkan dari kaum muda saat mereka berkiprah di birokrasi, menjadi PNS? Saya lihat ada rasa kecewa yang sangat besar dari masyarakat saat PPATK temukan begitu banyaknya rekening janggal milik PNS muda? Belakangan ini di forum ini dan beberapa forum lain yang saya ikuti (jadi anggota maksudnya), kaum muda selalu menjadi pembicaraan dalam relasinya dengan mental korupsi. Gayus Tambunan, Nazaruddin dan beberapa politisi muda Senayan yg kian membuat pesimisme hadirnya pemimpin muda di masa depan kelak.
Saya sering merasa, saat seorang pemuda mendaftar jadi PNS, hakikatnya dia sudah siap untuk menanggung dosa. Kenapa demikian? karena jadi PNS artinya siap hidup dari kubangan korupsi! (terkecuali bagi mereka yang berdiam diri, tidak ikut-ikutan korupsi, meski untuk itu harus rela dikucilkan). Mugkin ini era korupsi sistemik dengan melibatkan kolektivitas & energi dinamis, dan anak muda dipakai karena kecerdasannya oleh yang tua. Kaum muda yang terjerat korupsi memang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kerja-kerja korupsi sebelumnya! ada seperti contoh di sini (selain juga wanti-wanti emas yang di atas), apalagi kalai si anak muda itu pintar pastilah dipakai untuk menjarah dengan modus-modus canggih dan balutan ‘tidak menabrak aturan hukum’ (main rapi)!
Lebih sederhananya begini kaum muda memang dikaruniai kepintaran; menguasai teknologi serta cara-cara berbohongnya. Contohnya saja dengan adanya internet! Internet memanjakan mereka untuk selalu meningkatkan kapasitas diri, begitu tahu di kantor ada sistem yang tidak beres padahal dirinya tak kuasa untuk dikucilkan maka perlahan tapi pasti dia akan mengamini. Awalnya ya mngamini perlahan, tapi belakangan malah jadi pesaing ‘yg di atas’ dalam korupsi. Kenapa bisa begitu? Ya karena dia bisa manfaatkan kepintaran untuk memperkaya diri!!!  Mustahil yang muda nyaman korupsi kalau tidak ada kerja sama & restu dari yang ‘itu’.
Sungguh ini keprihatinan kita bersama, tapi ya inilah wajah kita sesungguhnya!! Kaum muda (PNS atau politisi) yang punya kelimpahan kekayaan tak wajar dari jerih keringatnya itu hanya cerminan dari mereka yang sudah terlanjur malang melintang di ‘dunia perkorupsian’, tentunya tidak tiba-tiba ada demikian keadaannya kl tak ada keteladanan dari ‘itu’, bahkan masyarakat! Tapi, keyakinan akan masih banyaknya kaum muda yang muak & lebih pilih keluar dari perilaku korup ‘yang itu’.
 Kepemimpinan ke Depan; yang muda atau yang tua saja?!
Kita butuh sosok pemimpin yang punya integritas serta kejujuran, yang belum terkontaminasi oleh politik kotor yg dimainkan beberapa pihak tertentu saat ini, sosok pemimpin yang punya kesungguhan membangun Nagekeo, berani dan tegas serta sangat mencintai Nagekeo. Lazimnya kaum muda dibilang pemuda dengan label yang punya aksentuasi karakter historis revolusioner (kerennya pelopor perubahan cepat), berani dan pantang menyerah! sedangkan kaum tua sebaliknya; kesannya punya karakter konservatif (enggan perubahan) dan reaksioner (cepat bereaksi) pada segala hal yg mengusik kemapanan & asyiknya menikmati kekuasaan! Sehingga dalam konteks terminologi demikian bisa dibayangkan trendnya ketika kaum muda berkuasa!
Nah, berbagai pandangan mengapa kaum muda saatnya diserahkan estafet kepemimpinan seperti yang saya rekam selama ini adalah kepemimpinan generasi tua hanya sisakan luka pada rakyat, arti dari sebuah kepemimpinan yang penuh tanggung jawab tidak ada lagi, mereka hanya pikirkan kepentingan kelompok & partainya tanpa pernah mau pikirkan kesejahteraan rakyatnya serta tidak punya visi yg kuat terhadap pembangunan daerah yang lebih bermartabat; karena itu sudah saatnya ‘Pemimpin Generasi Tua; serahkan estafet kepemimpinan kepada generasi muda sebagai penerus & pewaris kepemimpinan demi kemajuan daerah yang lebih kreatif & produktif, yang mampu buat gagasan baru dan meninggalkan pola politik konvensional.
Di belahan daerah otonom yang lain, pengalaman membuktikan kalau kaum muda yang berpotensi mampu memimpin daerahnya keluar dari berbagai kesulitan, contoh konkrit langkah-langkah mereka dalam pengelolaan APBD misalnya, kendala keterbatasan anggaran untuk melakukan perubahan cepat diatasi dengan ‘vivere veri coloso’ (bahasa Genarro Gatuso-nya adalah berani mengambil resiko) anggaran defisit yang bahkan jauh lebih besar dari PAD murni tahunan! Asumsinya bagaimana? Dengan proyek, program & investasi dari defisit itu akan dihasilkan pertumbuhan yang pada waktunya bisa mengimbangi pendapatan daerah untuk membayar kembali defisit sebelumnya! Ada juga pemimpin muda yang konservatif jadi pemimpin pengganti antarwaktu di awal kepemimpinannya justru prioritas awalnya menutup lunas defisit APBD yang dibuat pemimpin pendahulunya!
Pengalaman membuktikn biasanya pemimpin dari kaum tua memang lebih cenderung untuk hanya mengutak-atik angka anggaran yang ada agar cukup dan semuany akan terlihat baik-baik saja, tanpa kecuali untuk berusaha hemat dalam kondisi pas-pasan sehingga bangga ketika akhir tahun punya sisa anggaran! Ironinya, dengan itu orientasi terpentingnya asal pemerintahan bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya walau nanti kenyataannya usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi kurang efektif dan ujung-ujungnya buat dia dan timnya bingung! Akibatnya apa??seperti yang menjadi kecemasan kita??rakyat dibiarkan saja sendiri bergulat dalam mengatasi kesulitan dengan infrastruktur fisik dan kelembagaan yang seperti itu! Nah kalau berhadapan dengan kecenderungan penguasa dari kaum tua sepert itu maka hadirnya kaum muda yang lebih punya sikap progresif properubahan cepat jelas akan sangat memberi harapan! Hanya saja masalahnya, mampu tidak kaum muda yang berkuasa sekarang ini punya karakter yang revolusioner itu?

Ngada dan Nagekeo

Sejarah mencatat bahwa sebelum wilayah Indonesia berada dalam kekuasaan kolonialisme, imperialisme asing khususnya Belanda telah terdapat puluhan kerajaan bahkan mungkin ratusan kerajaan lokal. Mereka mengatur kelangsungan hidupnya dengan aturan-aturan secara turun temurun dan sangat khas serta unik untuk dirinya sendiri. Keseluruhan kerajaan itu, dalam arti “negara’ yang berdaulat. Keberadaan negara bangsa itu sangat ditentukan oleh kemampuan para pendukungnya dalam mempertahankan diri dari persaingan dan pertentangan diantara “negara” kerajaan-kerajaan atau komunitas-komunitas yang ada ketika itu. Sehubungan dengan itu berkembang pula suatu identitas diri yang amat diperlukan sebagai kekuatan untuk mepertahan kan keberadaannya sesuai dengan tradisi mereka.
Demikian halnya dengan wilayah yang kita sebut Ngada ini yang oleh penjajah Belanda dijadikan sebuah wilayah administratif pemerintahan yang kemudian disebut Onder Afdeling Ngada. Wilayah ini sebenarnya merupakan gabungan dari wilayah-wilayah yang lebih kecil yang oleh Belanda dijadikan Landschap yaitu Ngada, Nagekeo dan Riung yang masing-masingnya memiliki budaya dan sitem pemerintahan sendiri berdasarkan latar belakang budaya dan adat istiadatnya sampai kurang lebih Tahun 1907 ketika Belanda masuk wilayah ini. Setelah wilayah ini dikuasai Belanda merubahnya dengan sistem Pemerintahan Belanda.
Mengenai sistem pemerintahan lokal atau asli tidak banyak literatur yang menulis tentang hal ini kecuali para misionaris Katolik yang pernah bertugas di wilayah ini seperti P. Paul Arnt, SVD yang meneliti tentang Spritualitas Orang Ngada, bahasa dan budaya dan lain-lain. Hasil wawancaranya dengan orang-orang tua pada masa itu dan cukup banyak yang berhasil dikumpulkan dan ditulis. Selain P. Paul Arnt, SVD juga P. Dr. Herman Yosef Bader, SVD (Sarana Etnologi Budaya dalam mata pelajaran ilmu bangsa-bangsa pada SMAK Syuradikara Ende, 1953-1957 bersumber pada disertasi doktoralnya yang berjudul “Der Künste Von Ngadha”. Senantiasa diangkatnya menjadi contoh dalam mata pelajarannya. Disamping itu dijumpai refrensi tentang budaya adat dan istiadat yang telah di kumpulkan oleh Yosep Tua Demu, BA dan menulisnya dalam bentuk manuskrip. Beliau sering menjadi narasumber dalam berbagai kesempatan seminar atau lokakarya terutama yang menyangkut budaya dan banyak hal menarik yang perlu terus digali untuk diangkat ke permukaan. Juga dapat dijumpai dalam keseharian ketika kita berada di kampung-kampung tradisional yang masih ada, menanyakan berbagai hal yang menyangkut budaya dan adat istiadat pada orang-orang yang dianggap mengerti budaya, kita akan memperolehnya dengan mudah.
Menurut P. Herman Yosef Bader, SVD, dalam disertasinya menulis bahwa orang Ngada berasal dari daratan Yunan Selatan (Selatan Cina). Hal ini jika dikaitkan dengan ungkapan dalam ritus adat Reba pada saat Sui Uwi, menyebutkan : “Puü Zili Sina One” yang secara harafiah diartikan ”Dari Cina nun jauh di sana”. Banyak nama orang diberi nama Sina. Ine Sina, Sina Dewa, dll. Demikianpun nama rumah adat atau Sao Meze : Lusi Sina, Sina Ziä. Nama kampung seperti Piga Sina, Suri Sina, dan lain-lain.
Dalam tulisannya mengenai pemerintahan asli, P. Herman Yosef Bader, SVD juga mengemukakan bahwa Ngada mempunyai struktur kepemerintahan budaya yang berbentuk republik setingkat desa yang berdemokrasi murni. Mereka mengenal struktur wilayah teritorial dalam pemerintahannya (struktur genealogios).
Struktur Wilayah Teritorial
Wilayah Ngada yang kita kenal sekarang ini pada masa lampau lebih dikenal dengan nama”Ota Roja”. Nama ini ditemukan dalam butir 60 kisah perjalanan panjang Orang Ngada dari negeri asalnya yang menyebutkan ”Lau mai da toja gha nuka dia Roja” (Itulah dia yang semakin tertuju ke Roja ini). Butir 61 mnyebutkan ”Dia gha tiwu lina, tiwa da lina latu, sa bhege ba bheo pau” (telah tiba di teluk yang indah, ada secercah cahaya, gamabaran adanya kehidupan). ” Oba nee Nanga da se....gha waebata” (Leluhur Oba dan Nanga telah menaklukkan samudera). ”Sa lapa sa lazi neë maghi padhi, sa teda sa ngeda neë peda mëra” (tanah yang ditunjuk dan yang akan dikuasai, dibagi habis dengan batasnya barisan lontar dan duri perang). ” Pale nee zala pale, toke nee zala sede” (Berpencarlah ke wilayah pesisir dan mendakilah ke daerah pegunungan/pedalaman). Yang berpencar dan menguasai wilayah pesisir selanjutnya disebut ”Ata Maü”, dan yang masuk ke wilayah pedalaman disebut ”Ata Duä”. Secara alamiah kondisi wilayah di Ngada ini dipecah-pecahkan oleh deretan pegunungan bukit dan sungai yang disebut ”degho wolo” dan ”baka leko”. Di antaranya masih terdapat gunung dan bukit yang berdiri sesuai dengan keberadaannya sendiri-sendiri yang disebut ”Toko wolo”. Di setiap Toko wolo terdapat dua hal pokok yang perlu diketahui, yakni :
    1. Secara alami sejak awalnya terdapat hutan yang ditumbuhi perbagai jenis tanaman kehutanan yang bermanfaat bagi kehidupan/fungsi alami dan dapat dimanfaatkan hasilnya bagi kebutuhan hidup warga. Wilayah ini disebut ”Fao Kaju”. Dimana komunitas masyarakat yang berdiam di sekitarnya selalu identik dengan keberadaan hutannya (identitas teritorial wilayah dan manusia).
    2. Kawasan hutan yang dibudidayakan dengan jenis tanaman tertentu seperti bambu, yang ditanam di sekitar wilayah perkampungan atau di bukit/dataran dekat perkampungan yang disebut ”Fao Bheto” (daerah pedalaman). Sedangkan di kawasan pesisir lebih dominan tanaman kelapa yang disebut ”Fao Nio”
    Di setiap Fao Kaju, Fao Bheto dan Fao Nio terdapat beberapa buah kampung (Nua, Boä atau Ola) sebagai pendukung kawasan lingkungan masing-masing dengan hukum adatnya sendiri-sendiri. Walaupun nampaknya serupa tetapi tidak sama tergantung kesepakatan yang dibangun dalam komunitas Fao masing-masing.
Selain fao kaju, fao bheto dan fao nio memiliki hukum/adat yang sifatnya umum, ternyata di tingkat ”Nua” atau kampung juga terdapat otonominya sendiri berdasarkan ”Ulu-eko Nua”. ”Nua” mengatur dan mengurus kepentingan ”One Nua” (dalam kampung) dipimpin oleh fungsionaris adat (Dela One Nua, Mosa One Nua, Mosa Ulu Laki Eko, Mosa Wuku Ulu Laki Enga Eko, Mosa Udu Daki Eko). Mereka mengurus berbagai hal menyangkut kepentingan bersama seluruh warga dalam kampung dan tidak boleh ada campur tangan dari kampung lain. Mengatur, mengurus persoalan dalam komunitas seperti : masalah tanah, adat istiadat, perkawinan, pertanian, pesta adat, peradilan adat (mengurus perkara antar warga dalam kampung / bapho untuk menyelesaikan pertiakaian).
Setiap Nua/Kampung terdapat komunitas yang lebih kecil lagi yaitu ”Woe” atau Klan yang sering identik dengan ”Suku” (sebuah interpretasi yang perlu dirumuskan kembali). ”Woe” memiliki struktur kepengurusan tersendiri oleh mereka yang berkesatuan kedarahan (genealogis) dan sangat otonom.
Pada tingkat ”Nua” sampai denga ”Toko Wolo” terdapat kepemimpinan dan pemimpin yang kolegial/kepemimpinan bersama atau gotong royong (toö penga toö, rejo penga rejo) yang terdiri dari para Mosa Woe, Pendiri Kampung (Mori Tere Lengi), para fungsionaris seperti para mosa, Mori Kewe atau penguasa tanah ulayat, Mori Teke Wesu/Mori Buku (pemangku fungsi penaggalan/bulan), Mori Padhe Bisa ( imam adat untuk berhubungan dengan para dewa atau leluhur di alam baka). Mereka ini disebut ”Mosa Laki” karena merupakan pemanut yang bijak dan berwibawa, berperan untuk menggerakan masa bila ada tantangan yang menghadang, yang mengganggu keutuhan wilayah teritorial mereka.
  1. Struktur Genealogis (Woe)
  2. a. Ngada
Dalam setiap kampung di Ngada ini (Nua) terdapat beberapa ”Woe” atau Klan yang memiliki struktur kepengurusan sendiri oleh para pendukung ”Woe” yang berkesatuan kedarahan (genealogis). Secara fisik di perkampungan tradisional orang Ngada dijumpai monumen yang dibangun di tengah kampung berupa Ngadhu/Madhu, Bhaga, Peo dan Ture. Ada ungkapan ” Ngadhu nee Bhaga tau rada go kisanata”. Berapa jumlah Ngadhu dan Bhaga dalam satu kampung dapatlah diketahui berapa jumlah ”Woe” dalam kampung tersebut.
Woe memegang otonomi tertinggi karena memiliki bidang tanah, hutan terutama tanaman bambu, kelapa, loka, barang-barang mas dan yang paling utama dalam Woe terdapat ”Kesatuan Manusia” dan memiliki pemimpin secara turun temurun. Woe mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus semua kepentingan dalam kesatuan Woe. Kepemimpinan atau pemimpin dalam Woe disebut ”Ana Koda”. Anakoda biasanya berasal dari Saö Saka Puü dan Saö Meze Saka Lobo yang bila ada upacara Pogo Ngadhu/Madhu dan dibawa masuk dalam kampung maka yang naik berdiri di atas batang Ngadhu adalah Anakoda. Satu berdiri di depan yang disebut Saka Lobo dari Saö Meze Saka Lobo dan satunya di belakang yang disebut Saka Puü dari Saö Meze Saka Puü dan yang ada di bawah yang memiliki peran penting disebut ”Wua Ghao” (Wua Nemo Ghaö Muë).
Monumen utama dalam Woe berupa Ngadhu/Madhu, Peo, Bhaga terdapat tiga unsur kekuatan pokok yang memiliki peran penting dengan konsekwensi memperoleh hak dan kewajiban yaitu : Saka Puü, Saka Lobo dan Wua Ghao yang menurut P. Hubert Muda, SVD, organisasi tiga serangkai masyarakat asli ada kemiripan dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam bidang administrasi modern. Berbeda dengan struktur wilayah teritorial ”Nua” yang disebut ”Ulu Eko” yang diatur menurut dasar hukum adat ”Sui Uwi Reba” dengan peraturan pelaksana adat yang dikenal dengan nama ”Waru Jawa” melalui kesepakatan Mosa Ulu Ekonya, maka pada Woe lebih dikenal dengan istilah ”Puü dan ”Ngalu” (Puu dan Lobo) atau pokok/pangkal dan ujung. ”Woe” adalah kelahiran Ngadhu dan Bhaga. Baik Saka Puu, Saka Lobo maupun Wua Ghao memiliki rumah adat (Sao Meze) yaitu Sao Meze Saka Puu, Sao Meze Saka Lobo dan Sao Meze Wua Ghao.
Semua Sao Meze memiliki Suä (lambang hak dan kewajiban). Dalam perkembangannya terutama karena anggota semakin bertambah dan sudah mencapai tingkat kemampuan tertentu, maka akan melahirkan ”Sao Dhoro” atau rumah pemekaran baru dan diberi/dibagi Suä (hak dan kewajiban) dengan bidang tanah atau kekayaan tertentu. Bila Sao Dhoropun dalam perkembangannya mengalami kemajuan dan pertumbuhan manusia yang semakin banyak, maka akan melahirkan Saö Tede. Saö Tede tidak memiliki Suä sendiri. Sao Tede merupakan bagian yang terpisahkan dari Sao Dhoro, tetapi merupakan bagian dari Sao Meze dari mana mereka berasal dan mengacu pada peka puu atau peka lobo atau wua ghao sesuai struktur masing-masing dan tergabung dalam satu Woe pemegang hak tertinggi. Woe memiliki bidang tanah (tanah Ngadhu-Bhaga atau tanah milik bersama Woe/Klan) yang dibagi sama rata dengan batas-batas tertentu menurut ”Lanu”. Setiap Lanu dibagi lagi lahan untuk digarap bagi kelangsungan hidup anggotanya yaitu Padhi Hae/Padhi Sae Duri Tewu. Bagi orang Ngada pendukung budaya Reba, memiliki hukum pertanahan yang disebut ”Sa Lapa Sa Lazi Nee Padhi Maghi, Sa Teda Sa Ngeda Nee Peda Mera” ( semua tanah telah dibagi habis dengan batas tertentu yang diibaratkan dengan barisan pohon lontar dan duri perang). Pembagian tanah secara adil dan merata bertujuan untuk diolah secara baik bagi peningkatan taraf hidup semua orang (Wi Polu Bhogu Jou, Paga Bhangu Asa).
Dari uraian singkat di atas baik mengenai strukur wilayah/teritorial maupun geanologis (Woe/Klan) yang ditemukan dalam budaya Ngada (pendukung Budaya Reba) memiliki struktur kepemerintahan budaya yang berbentuk republik desa, berdemokrasi murni dan sangat otonom.
b. Nage
Demikian halnya, Komunitas Masyarakat Adat Nagekeo. Menurut Bapak Eperadus Dhoy Lewa, komunitas masyarakat adat Nage tidak banyak berbeda dengan budaya Ngada. Setiap kampung (Nua/Ola/Boa) selalu memiliki ”Peo-Ngusu-Nabe” yang merupakan simbol persatuan dalam persekutuan adat. Ada ungkapan : ” Koko Neë dolo to, Lanu neë tadu asu” (memiliki pembagian hak dan kewajiban yang jelas). Ada Sao Waja, Peo, Ngadhu. Struktur masyarakat di Nage mewajibkan setiap Klan memiliki ”Hoö”. ”Hoö” adalah orang kebanyakan yang dari awalnya tidak memiliki tempat berusaha dan mereka dimanfaatkan untuk membantu tuannya melaksanakan tugas harian memelihara dan menggembalan ternak, berkerja di sawah dan di ladang, dan membantu urusan dalam rumah tangga. Kemosalakian orang di Nage adalah mereka yang dianggap berkemampuan lebih. Mereka sangat menjunjung tinggi martabat karena setiap orang harus menunjukkan kemampuan memiliki harta benda, tanah garapan yang luas dan ternak yang banyak. Dengan demikian status sosialnya terangkat dan diakui. Ada ungkapan yang merupakan prinsip yang wajib dijalankan adalah : ”Bani puü ngiï da Ngai” yang secara harafiah dapat diartikan : ” Berani tampil karena bisa”. Masyarakat Nage memiliki fungsionaris adat seperti :
v Mosa Ulu Laki Eko (Pemimpin Wilayah)
v Mosa Watu Laki Tana (Pemilik Tanah)
v Mosa Bhada Laki Wea (Mosa yang memiliki ternak yang banyak dan harta (orang berada)
v Mosa Wiwi Laki Lema ( Orang yang pandai berbicara yang sering dipercayakan sebagai juru damai)
v Mosa Boä Laki Ola (Pemuka dalam kampung).
Mereka memiliki semboyan hidup :
v Kamu kana nama mala (harus memiliki kekerabatan yang luas).
Contoh ungkapan/pernyataan salah satu suku yang ada di Nage, sebagai berikut :
” Ta so nama wolo dhu zele lodo, Kamu lana nama mala badha zele djdja. Kami Ebu Oba Kajo Nanga, Kami dho dho puü zele wolo, Gheghe se tege, puü lobo leke zele, Kesu sa loge, Kami dhodho puü pore lena zeta”.
Peo Ngusu Nabe di Komunitas Nage memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan Komunitas Ngada karena ada Saka puü-Saka Lobo-Ada Iwu – Lado Bepi dan tugu-tugu.
c. Keo
Di Wilayah Keo (Keo Tengah dan Mauponggo) dari keterangan Bapak Arnold Dhae dan Bapak Anton Towa dari Mauponggo (yang kemudian juga disampaikan oleh Bapak Pit Yan Jo dan Bapak Salesius Wundu dari Keo Tengah) ; di masa lampau komunitas masyarakat adat Maü, sangat menentukkan masalah mati hidupnya sendiri. Otonomi atau hak mengatur dan mengurus rumah tangga komunitas sebagai wilayah hukum diatur melalui hukum adat. Kewenangan dan kewajiban tidak hanya menyangkut kepentingan duniawi tetapi juga menyangkut kepentingan rohani. Tidak hanya berkenaan dengan kepentingan umum/komunitas (pemerintah/negara) tetapi juga kepentingan penduduk perseorangan. Isi otonomi menurut hukum asli sebetulnya sangat luas dan memiliki unsur-unsur asli yang bermutu tinggi walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Namun sejak jaman Belanda bahkan sampai saat ini terjadi pembatasan-pembatasan dalam otonomi dan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hukumnya.
Setiap kampung tradisional mempunyai sitem pemerintahan sendiri berdasarkan ”Peo Yenda” (monumen/lambang persatuan dan kesatuan dalam kampung). Setiap ”Peo Yenda” terdapat pemangku adat yang disebut ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo”. Segala urusan dalam kampung harus mendengar perintah dari pemamngku ”Saka Puu” dan ”Saka Lobo” Peo Yenda. Baik Saka Puu maupun Saka Lobo masing-masing mempunyai ”Tuku” yang berfungsi sebagai penopang/pendukung. Saka Puu, Saka Lobo dan Tuku memiliki beberapa ”Ana Tuku” dan dari ”Ana Tuku” terbagi lagi menjadi beberapa ”Woe” atau suku. Pemangku adat ”Ana Tuku” berfungsi seperti para menteri dalam kabinet yang bertugas membentengi/menopang struktur yang ada di atasnya. Setiap suku/Woe turun ke beberapa ”Ngapi” (bagi lika wunu). Misalnya pada saat pesta adat ”Pebha” atau ”Para” atau ”Pa” mereka memperoleh bagian yang sama namun tidak boleh mendahului struktur yang sudah ditetapkan di atasnya. Bila dalam perkembangan, jumlah manusia semakin banyak maka pengaturan kepemilikan tanah dibagi menurut suku dengan jalur yang telah digariskan. Pada masa lalu aturan seperti ini sangat ditaati sehingga sangat jarang terjadi perselisihan.
Bila terjadi perselisihan atau persoalan maka ada mosa yang terbatas dalam keluarga atau suku mencari solusi pemecahaan (podo coö). Ada fungsionaris adat yang disebut ”Mosa Mere Laki Lewa” nya masing-masing. Semua persoalan dalam kelurga cukup diselesaikan dalam rumah ”Pata soö, poto reta tolo” (jangan di bawa ke luar). Kalau menemui jalan buntu, masih ada forum yang disebut ”Teë mere, wewa lewa”. Masyarakat selalu mengacu pada struktur dalam rumah adat (Saö) yang disebut ” Neë ta reta tolo” (ada yang di bagian dalam rumah yang memiliki status sebagai pemimpin, pengatur/pengurus). ”Neë ta rade tenda” (ada yang yang di ruang tengah), ”Neë ta rade tana” (ada yang di luar teda/moä). Mereka ini yang menjalankan semua perintah dan sebagai pelancar semua urusan sidang. Bila ada pertemuan dalam rumah, mereka ada di bagian depan rumah ”mera ana tenda neë rade tana” (para pelancar urusan).
Fungsionaris adat yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di dalam komunitas kampung atau semacam kepala kampung disebut : ”Mosa Wuku Ulu, Laki Enga Eko” dan harus berasal dari keturunan ”Saka Puü” atau ”Saka Lobo” dan minimal dari pemangku ”Tuku”. Jika yang pertama berhalangan masih ada orang kedua dan jika keduapun berhalangan masih ada orang ketiga dan seterusnya. Dengan demikian dari Puü ke Lobo, Lobo ke Tuku baru turun ke Ngapi.



Bangkitkan Profesionalisme Anggota PGRI

Alam konstelasi politik kadang sulit diprediksi arah dan kehadirannya, serta merta telah memasuki berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari persoalan-persoalan yang rumit dan pelik tingkatannya tidak dapat dihindarkan. Organisasi tidak dapat menghindar dari keadaan ini.
Realitas inilah yang menantang bagi setiap organisasi untuk lebih merasa bertanggung jawab pada semua anggotanya. Kondisi ini membawa perubahan yang sangat besar terutama pada proteksi profesi, seseorang yang menyatakan sebagai profesional pendidik (guru) misalnya, tidak dapat lagi sembunyi dibalik kekuatan organisasi untuk menjamin eksistensinya.
Kendatipun organisasi tidak kehilangan inner power (kekuatan sejatinya) untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah profesi. Organisasi saat ini secara tidak langsung telah berubah pada perikatan yang profesional, artinya tidak hanya mengemban misi dalam upaya-upaya perlindungan individu, karena era ini menuntut lebih banyak persaingan yang sifatnya individual (Competition on individual base).
Organisasi profesi yang secara dini tidak membekali para anggotanya dengan piranti persaingan, dan tidak hanya menanti belas kasihan organisasi, secara dini pula dirinya akan terlindas oleh kemajuan jaman, suatu kenyataan telah berada dipelupuk mata kita, bahwa hadirnya profesional pendidik asing (guru-guru dari luar negeri), tak satupun organisasi mampu menolaknya. Karena negara telah mengikat dirinya dalam berbagai bentuk perjanjian, misalnya, WTO, APEC dan AFTA yang kita sepakati dan mengharuskan kita sepakat untuk mendunia. Menghadapi kenyataan ini maka sebuah organisasi, harus melangkahkan kesadarannya pada misi baru, yakni menjadi katalisator untuk meningkatkan kekuatan profesional para anggotanya. Sebagai langkah awal adalah mencegah sekaligus mengeliminasi idola-idola sesat.
Meminjam buah fikir "Francis Bacon" sebagai peletak dasar-dasar empirisme menganjurkan organisasi untuk membebaskan manusia dari pandanngan atau keyakinan yang menyesatkan, dia menyebutkan ada empat idola, yaitu:
1. The idols of cave, yakni sikap mengungkung diri sendiri seperti katak dalam tempurung, sehingga enggan membuka diri terhadap pendapat dan pikiran orang lain.
2. The idols of market place, yaitu sikap mendewa-dewakan slogan cenderung suka "ngecap" (lip service).
3. The idols of theatre yaitu sikap membebek, kurang fleksibel, berdisiplin mati dan "ABIS"- Asal Bapak Ibu Senang".
4. The idols of tribe, yaitu cara berfikir yang sempit sehingga hanya membenarkan pikirnanya sendiri (solipsistic) dan hanya membenarkan kelompoknya/organisasinya sendiri.
Jika organisasi telah mampu membebaskan para anggotanya dari idola-idola tersebut, maka secara tidak langsung organisasi telah meraup kembali inner power yang selama ini hilang sebagai akibat kemajuan zaman yang penuh ketidakpastian.
Dikaitkan dengan profesionalisme guru, maka wadah organisasi seperti PGRI (Persatuan Guru RI) tertantang untuk memanifestasikan kemampuannya, karena secara makro organisisasi PGRI dihadapkan pada "barier protection) sebagi akibat globalisasi. Sadar dari realita ini PGRI akan tetap melakukan upaya cerdas dalam bentuk peningkatan kemampuan individual (peningkatan kompetensi). Sehingga kesan yang berkembang dan yang memandang PGRI hanya mempertahankan organisasi sebagai alat pelindung dengan bermodalkan kekuatan massa (pressure group), tidak selamanya benar.
Mengukuhkan Keahlian
Di era ketidakpastian, tuntutan keahlian digambarkan sebagai kemampuan personal yang memiliki daya ganda, yakni disamping memiliki keungulan kompetitif (competitif advantage), sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif (comparative adventage). Keunggulan kompetitif ini menuntut professional untuk menguasai kempetensi inti (core competence). Dalam dunia pendidikan yang disyaratakan sebagai kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi:
1. Keunggulan dalam penguasaan materi ajaran (subject mater)
2. Keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran (teaching methode)
Dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliput; kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial. Dari syarat kompetensi ini, merupakan bentuk tuntutan yang sifatnya dinamik, karena penguasaan materi ajaran, serta penguasaan metodologi pengajarann selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.
Dalam penguasaan materi ajaran misalnya, untuk satu hari saja dunia telah mencatat lebih dari kurang satu juta judul buku terbit.
Sisi lain yang juga menjadi tantangan adalah rekayasa bidang teknologi komputer dengan rekayasa tersebut maka tercipta beberapa perangkat lunak (soft ware) pendidikan yang memiliki kemampuan luar biasa dan sangat reasonable terhadap berbagai keadaan dan fungsi. Realitas ini merupakan kendala yang harus dapat diantisipasi oleh organisasi.
Menguatkan Tanggung Jawab
Tanggung jawab profesi juga terkena imbas kemajuan jaman, teristimewa untuk profesi pendidik, karena disamping tuntutan bidang akademik dengan perannya sebagai alih pengetahuan (transfer of knowledge) secara bersamaan guru membawa beban moral, sebagai pendidik moral.
Kemajuan teknologi ternyata tidak pernah steril dari budaya baru, teknologi selalu mempercepat dan membawa dampak pengiring, yang kadangkala bernuansa negatif.
Tanpa disadari langit-langit bumi telah berubah menjadi atmosfir elektronik, yang dengan bebas dan tanpa merasa berdosa mengalirkan informasi ke segala penjuru dunia, dan tidak memandang perbedaan budaya, etika serta etistika.
Suatu gambaran yang serba naïf, dapat diakses oleh sebagian besar penduduk Indonesia, karena parabola (indovision) telah mampu menjembatani penyiaran TV-TV asing, dengan tidak terasa terjadi penetrasi budaya. Secara bersamaan guru telah mendapatkan beban tambahan untuk memberikan perawatan budaya, agar moral bangsa tetap berada dalam bingkai budaya.
Keadaan ini menjadi serba-serbi dilematik, sisi lain guru harus ahli dalam penguasaan subject mater, namun beberapa waktunya hilang dibagi untuk mengurusi bidang-bidang yang terkait dengan moral. Sebagai tantangan tanggung jawab profesi yang terkait dengan persoalan moral profesi adalah semakin lemahnya kepercayaan terhadap guru, karena nilai-nilai yang berkembang saat ini dengan cepat memberikan perubahan, namun berbagai persoalan individu utamanya kesejahteraan seorang guru masih belum dapat dikatakan menggembirakan. Kenyataan menunjukan kepada kita, sering pula dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menekuni pekerjaan-pekerjaan lain yang akhirnya merugikan nilai-nilai profesional.
Ilustrasi yang sangat ringan dapat kita lihat, bahwa kemajuan ekonomi juga mengkondisikan guru lebih senang bahkan lebih tekun mengerjakan fungsi-fungsi lain yang lebih menjanjikan dari pada mempertajam visi profesinya. Melihat realita ini, maka organisasi harus melakukan tindakan cerdas, dengan berupaya terus menerus melakukan siasat.
Jejaring Sebagai Kekuatan Organisasi PGRI:
Dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, "mencerdaskan bangsa" PGRI selalu mengundang dan bekerja sama dengan organisasi lainnya, selama dalam bingkai tegaknya NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi menjadi suratan perjuangannya.
PGRI selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI menyadari sepenuhnya membangun jejaring (net working) dalam kerangka peningkatan martabat Bangsa Indonesia khususnya wilayah Kabupaten Nagekeo selalu dikedepankan.

PGRI perjuangkan nasib guru

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi terbesar yang dimiliki oleh guru di Indonesia adalah organisasi yang sangat ideal dan tepat sebagai wadah untuk meningkatkan profesionalisme guru, mengatasi berbagai masalah yang dihadapi para guru serta memperjuangkan nasib guru dan pendidikan pada umumnya. Agar guru dan tenaga kependidikan dapat berperan maksimal dalam menjalankan fungsinya, mereka perlu didukung, dibantu, didorong dan diorganisasikan dalam suatu wadah yang dinamis, prospektif dan mampu menjawab tantangan masa depan. Organisasi yang tepat dan telah mampu melakukan hal itu semua adalah PGRI. Sejarah telah membuktikan bahwa keuletan, kekompakan, kejuangan dan perjuangan PGRI selama ini telah menempatkan PGRI bukan saja menjadi organisasi guru dan tenaga kependidikan yang terbesar di Indonesia, tetapi juga merupakan bagian dari organisasi guru dunia yang tersebar di 158 negara di Dunia yang anggotanya kini lebih dari 25 juta.
Akan tetapi hingga kini masih banyak guru di Indonesia yang belum masuk sebagai anggota PGRI. Teritama dari kalangan guru swasta atau guru dari Departemen Agama. Hal ini terjadi karena perekrutan anggota PGRI bersifat sukarela dan terlepas dari birokrasi pemerintah. Memang tidak ada aturan yang mewajibkan bahwa semua guru baik negeri maupun swasta harus masuk menjadi anggota PGRI. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak tahu banyak tentang PGRI dan peranannya bagi mereka. Banyak pula di antara mereka baik yang sudah masuk menjadi anggota PGRI maupun yang belum mencibir PGRI itu sendiri. Sebagian beranggapan masuk menjadi anggota PGRI tidak ada manfaatnya. Malah katanya mereka malah rugi karena gajinya dipotong tiap bulan untuk iuran organisasi. Ada yang mengatakan PGRI adalah hanya organisasi yang bisanya hanya potong gaji saja, tidak membawa manfaat apa-apa bagi mereka. Padahal sadar atau tidak sadar sebenarnya mereka selama ini telah menikmati berbagai peningkatan dan perbaikan nasib guru bahkan kemajuan dunia pendidikan pada umumnya yang merupakan hasil dari kegigihan perjuangan PGRI yang telah dilakukan selama ini. Mereka tidak ikut iuran, tetapi mereka telah ikut menikmati hasil perjuangannya. Bahkan tidak hanya guru saja yang memetik hasil perjuangan PGRI, tetapi PNS yang lain juga ikut menikmati hasil perjuangan PGRI. Sebagai contoh kenaikan Gaji PNS Rp 155.250,00 pada tahun 1999, mengusulkan tunjangan beras diganti dengan uang, memaksimalkan penggunaan ASKES di RS Swasta dan masih banyak lainnya itu adalah hasil perjuangan PGRI.
Beberapa waktu yang lalu kita sama-sama menyaksikan pemandangan menarik di televisi dan media massa lainnya. Ribuan guru dengan seragam PGRI secara bergiliran guru dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan dikoordinir pengurus PGRI pusat dan daerah telah melakukan demonstrasi besar-besaran secara nasional dengan menduduki gedung DPR dan Instansi pemerintah yang lain seperti kantor menteri Pendidikan Nasional Pusat untuk menuntut peningkatan anggaran pendidikan sampai 20% dari APBN sesuai amanat UUD 1945, peningkatan kesejahteraan guru, terbitnya PP tentang guru dan tuntutan-tuntutan yang lainnya yang menyangkut nasib guru. Demo-demo tersebut juga ternyata membawa hasil, seperti telah terbitnya Permendiknas No. 18/2007 tentang sertifikasi guru yang sekarang telah ramai dilaksanakan oleh sebagian guru dan sebagian guru yang lulus sertifikasi telah menikmati tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok setiap bulan dengan cara dirapel. Ini semua berkat kegigihan dan perjuangan PGRI. Sebagian tuntutan lainnya juga telah terpenuhi oleh pemerintah.
Wajar mereka berpendapat miring tentang keberadaan PGRI karena mereka tidak tahu apa yang telah dilakukan PGRI. Ketidaktahuan mereka mungkin karena mereka tidak masuk menjadi anggota aktif sehingga tidak tahu banyak hal tentang PGRI dan aktifitasnya, atau menjadi anggota tetapi tidak mau tahu dengan perjuangan PGRI dan segala aktifitasnya.
Guru-guru di lingkungan Departemen Agama misalnya, termasuk di MTs Negeri Jeketro hamper semua guru di lingkungan Depag belum masuk menjadi anggota PGRI. Termasuk Guru –guru di sekolah-sekolah swasta atau guru-guru GTT. Hal ini disebabkan tidak adanya kuajiban atau anjuran resmi dari instansi terkait. Sebenarnya bila kita masuk menjadi anggota PGRI cukup banyak manfaat yang kita dapatkan. Pertama, kita sebagai guru sudah sepantasnya tegabung dalam sebuah organisasi profesi yang dapat melindungi hak-hak guru dan ikut berkiprah secara aktif untuk kemajuan guru. Kedua, dengan bergabung menjadi anggota PGRI kita bias bergaul dengan guru-guru lain dari SD sampai SMA baik dari daerah tingkat kecamatan sampai tingkat nasional. Ketiga, kita akan mendapatkan bantuan hukum dari Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) bila kita mendapatkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hokum baik berkaitan dengan tugasnya maupun kasus pribadi dengan tanpa dipungut biaya. Keempat, ketika pensiun kita akan mendapatkan dana pensiun dari Yayasan Dana Setia Kawan Pensiun PGRI yang besarnya disesuaikan dengan lamanya menjadi anggota PGRI. Kelima, kita akan mendapatkan kartu anggota PGRI dan SK Pengurus PGRI yang dapat dipakai sebagai menambah angka kredit guru atau untuk fortofolio sertifikasi guru. Keenam, dengan menjadi anggota PGRI, kita memiliki banyak kesempatan untuk ikut berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PGRI baik di tingkat kecamatan hingga tingkat pusat yang akan menambah wawasan dan pengalaman tersendiri. Jadi alangkah baiknya bila guru-guru MTs N Jeketro ikut bergabung menjadi anggota PGRI dengan membentuk ranting tersendiri di bawah pengurus Cabang Gubug. Pengurus PGRI cabang Gubug tentunya akan dengan senang hati untuk menerima anggota baru tersebut.
Apa yang Telah Dilakukan PGRI ?
Sebetulnya banyak sekali perjuangan PGRI baik pengurus pusat maupun pengurus daerah dalam memperjuangkan nasib guru pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Ada beberapa hasil perjuangan PGRI yang perlu ditunjukan untuk menghindari fitnah dan dapat mengurangi peran serta sebagai anggota PGRI. Secara umum Pengurus PGRI pusat yang lebih aktif melakukan perjuangan dan desakan baik dikalangan eksekutif maupun legislatif untuk mengoalkan apa yang menjadi usulannya. Beberapa perjuangan PGRI yang telah dilakukan selama ini antara lain sebagai berikut :
1. Mengusulkan kenaikan gaji pada tahun 1999 kepada Presiden, dan hasilnya gaji PNS naik Rp 155.250,00.
2. Tahun 2000 PGRI mengusulkan tunjangan pendidikan bagi guru, hasilnya tunjangan fungsional guru naik 150%.
3. Mengusulkan honor guru wiyata bakti, hasilnya guru wiyata bhakti baik di sekolah negeri maupun swasta mendapat tunjangan dari pemerintah sebesar Rp 75.000,00 per bulan.
4. Memperjuangkan bantuan untuk sekolah swata, hasilnya bantuan pendidikan untuk sekolah swata mengalami peningkatan yang signifikan.
5. Mengusulkan agar guru TK mendapat perhatian, hasilnya ada Direktur PAUD, pengangkatan guru TK dan peningkatan kesejahteraan guru TK.
6. Mengusulkan agar tunjangan beras PNS diganti dengan uang agar tidak merugikan PNS. Hasilnya sekarang PNS telah menerima tunjangan beras dalam bentuk uang tunai yang dibayarkan bersamaan dengan penerimaan gaji.
7. Pemaksimalan penggunaan ASKES agar dapat digunakan di RS Swata. Hasilnya sekarang ASKES bida digunakan di RS Swata.
8. Untuk kenaikan golongan IV/a ke atas ditinjau kembali agar tidak diproses sampai ke pusat sehingga memakan waktu lama. Hasilnya kenaikan pangkat IV/a ke atas cukup di tingkat Provinsi, kecuali guru di lingkungan Departemen Agama tetap di pusat.
9. Tunjangan THR dan tambahan kesejahteraan bagi guru. Hasilnya pemerintah kabupaten/kota telah mencairkan tunjangan THR dan dana kesejahteraan bagi seluruh PNS di jajarannya.
10. Rekruitmen PNS khususnya guru, hasilnya dilakukan secara nasional. Mengusulkan agar Guru GTT di sekolah negeri diangkat menjadi PNS. Hasilnya guru kontrak secara otomatis diangkat menjadi PNS meskipun secara bertahap. Bahkan di Depag seluruh data guru yang masuk dalam data Dbase secara bertahap akan diangkat menjadi PNS.
11. Perlindungan dan pembelaan terhadap anggota PGRI yang tersandung masalah hukum oleh LKBH tanpa dipungut biaya.
12. Mengawal dan mendorong lahirnya UU Sisdiknas.
13. Mendesak lahirnya PP tentang Sisdiknas.
14. Mengusulkan agar guru ditangani oleh sebuah badan independen langsung di bawah presiden.
15. Mengusulkan adanya sistem penggajian guru tersendiri pada pemerintah.
16. Mengusulkan kenaikan tunjangan fungsional guru.
17. Mengusulkan sistem pembinaan PNS secara nasional, termasuk pemberian kesejahteraannya.
18. Mengusulkan agar jabatan struktural di bidang pendidikan ditempati oleh pegawai yang menguasai bidang pendidikan, meniti karir, dan berlatar belakang pendidikan.
19. Telah ikut secara aktif yang berada di barisan paling depan jajaran organisasi guru dan bekerja sama dengan organisasi politik yang memiliki otoritas, berusaha menyiapkan dan memperjuangkan UU Guru dan Dosen. Secara kelembagaan perjuangan untuk melahirkan UUG dan D telah dimulai pada saat konggres ke XVIII tahun 1998 di Lembang, Bandung. Sebelumnya baru berupa wacana yang berkembang sejak tahun 1960.
20. Mengawal dan mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan PP tentang Guru sesuai dengan amanat UU GD, hiingga terbitlah Permendiknas No. 18/2007 tentang pelaksanaan sertifikasi guru.
21. PGRI selama ini menjadi mitra aktif, strategis, dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan, terutama yang terkait dengan kebijakan tentang guru.
22. Mengawal agar pelaksanaan sertifikasi guru tidak menciderai kepentingan guru di dalam berkarya dan memperoleh hak-haknya.
23. Mensosialisaikan tentang pelaksanaan sertifikasi guru dari tingkat pusat hingga cabang (tingkat kecamatan).
24. Mengawal pelaksanaan sertifikasi guru secara objektif dan transparan.
25. Menerima sejumlah pengaduan dan melaksanakan kajian terhadap kemungkinan model pelaksanaan sertifikasi guru yang lebih bermutu, efisien dan memenuhi rasa keadilan guru.
26.Melakukan kajian terhadap peningkatan profesi dan kesejahteraan guru.
27. Mengawal penerimaan tunjangan profesi guru.
28. Perjuangan yang paling hangat dan merupakan kemenangan PGRI adalah lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi RI nomor 026/PUU/III/2005 yang menetapkan batas tertinggi dalam APBN tahun 2006 sebesar 9,1% untuk pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945.
29. Menuntut kepada pemerintah untuk memberikan uang lauk pauk kepada semua PNS termasuk guru.
Masih banyak lagi perjuangan PGRI baik yang telah berhasil maupun yang belum yang telah dilakukan PGRI baik tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi harus diakui bahwa perjuangan PGRI belum maksimal. Hal ini disebabkan karena dua faktor, yaitu :
1. Belum kuatnya PGRI sebagai kekuatan penekan.
2. Kurangnya political will dari pemerintah dan birokrasi pendidikan.
Kegigihan PGRI dalam memperjuangkan hak-hak guru baik negeri maupun swasta berdasarkan UUD 1945 beserta segenap peraturan pelaksanaannya belumlah surut. Sekalian ancaman, gangguan, hambatan dan tantangannya terus menerpa PGRI. Cakupan perjuangan itu antara lain : realisasi anggaran 20% dari APBN maupun APBD untuk pendidikan sesuai amanat UUD 1945, jaminan pengembangan karier dan keprofesionalan guru, tunjangan fungsional, tunjangan profesi, tunjangan pendidikan, tunjangan khusus, kemaslahatan lain, tunjangan kelebihan jam mengajar bagi guru SD, insentif dan peningkatan kesejahteraan bagi guru swasta dan tenaga honorer. Status karier dan kesejahteraan guru GTT, guru wiyata bhakti, guru honorer juga terus diperjuangkan melalui berbagai pendekatan dan cara. Evaluasi sementara, perjuangan PGRI tersebut ada yang berhasil, tetapi masih banyak juga yang harus tetap diperjuangkan. Ketidakberhasilan perjuangan itu menurut analisis sementara penyebabnya adalah karena kader PGRI belum menempati posisi kunci dalam mengambil kebijakan dalam sistem pemerintahan. PGRI mengamati masih banyak pejabat pemerintah belum banyak memahami kebutuhan profesional riil para guru. Para pejabat mempersepsikan pekerjaan guru sama saja dengan jenis pekerjaan administrasi perkantoran lainnya, sehingga tidak perlu perhatian khusus. Padahal guru memiliki peranan strategis untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa ini.